Pendidikan nilai bukan hanya
masalah tahu tentang ”apa yang baik”. Orang mengira ”mengetahui” seakanakan
sama dengan ”sudah melakukan”. Padahal, masih ada jarak antara ”tahu” dan
”tindakan”. Arah pendidikan nilai seharusnya fokus pada modalitas, yaitu bagaimana
menjembatani agar nilai-nilai menjadi tindakan nyata.
Nilai dianggap sesuatu yang
berharga bagi suatu kelompok masyarakat yang berupa standar perilaku atau dasar
moral untuk mengarahkan dan evaluasi tindakan (Kolthoff, 2007: 39). Nilai-nilai
membentuk orang berkarakter: komitmen, jujur, kompeten, terbuka, jiwa
pelayanan, belarasa, dan pengorbanan. Pendidikan nilai tidak lepas dari
pembentukan habitus, yaitu melalui pelatihan, pembiasaan, pengalaman, dan
perjumpaan.
Perubahan habitus hanya mungkin
bila mampu mengurai simpul-simpulnya: menghadapi peserta didik yang mencontek,
ubah sistem menjadi ujian lisan; menghadapi ketidakadilan/diskriminasi, buat
prosedur yang sifatnya mengawasi.
Perubahan harus didukung
fasilitas, contoh supaya orang mau antre, saat giliran tiba wajib menunjukkan
nomor urut; supaya orang tumbuh rasa memiliki, sistem kepemilikan diubah. Jadi,
perubahan sikap/perilaku sulit terjadi kalau hanya mengandalkan nasihat,
khotbah, atau ajaran. Perhatian utama pendidikan nilai fokus pada menyediakan
modalitas yang menjembatani norma moral dan tindakan faktual.
Pembentukan karakter
Karakter pertama-tama dibentuk
bukan dari ”tahu”, melainkan dari tiga prinsip ini: pertama, oleh apa yang kita
lakukan, bukan oleh apa yang kita katakan atau ketahui; kedua, setiap
pilihan/keputusan bertindak mengarahkan akan menjadi orang semacam apa diri
kita; ketiga, karakter lahir dari keberanian bertindak tepat meski menyadari
penuh risiko.
Tiga prinsip ini sebetulnya
adalah saran untuk mengusahakan internalisasi nilai: kalau mau efektif harus
terlibat dalam kegiatan. Keterlibatan membawa pengalaman, perjumpaan, dan
pembiasaan melalui live-in atau pelayanan masyarakat.
Dengan prioritas ”melakukan” atau
”bertindak”, nilai-nilai yang dipraktikkan atau bentuk moral yang dibatinkan
bisa lebih efektif mengatur perilaku sehari-hari untuk membentuk etos. Etos
menandai karakter seseorang atau kelompok masyarakat. Karakter mewujud dalam
sifat kepribadian yang memengaruhi kemampuan bertindak/bersikap sejalan dengan tanggung
jawab moral.
Ada lima pilar pendidikan
karakter (bdk Berkowitz, 2002: 83) yang memengaruhi pembentukan atau perubahan
habitus. Pembahasan kelima pilar di bawah ini memperhitungkan simpul-simpul
habitus atau modalitas perubahan.
Pertama, pendidikan etika.
Tujuannya melengkapi peserta didik dengan pengetahuan, kemampuan mempertanyakan
dan menalar agar mengembangkan sistem nilai dan bertanggung jawab atas
keputusannya. Kematangan penalaran moral perlu dilatih melalui diskusi
pemecahan kasus-kasus dilema moral dan manajemen nilai. Dalam diskusi ada
penajaman konsep, pengayaan kategori dan pembiasaan menerima beragam pemikiran.
Perkembangan kesadaran moral
tumbuh bukan hanya melalui informasi/pengetahuan, melainkan dengan pengalaman
dan perjumpaan: melibatkan aktivitas live-in di keluarga miskin, di keluarga
berbeda agama, atau tinggal di pesantren bagi non-Muslim. Ketika membahas
masalah jender, siswa diminta mengunjungi penjara perempuan, korban pelecehan,
wawancara korban KDRT.
Kedua, penjabaran karakter dalam
proses belajar-mengajar dengan memberdayakan peran para pemangku kepentingan
(pendidik, orangtua, yayasan, pejabat) melalui kesaksian hidup pribadi dan
praktik kelembagaan dalam menghayati core values, kode etik dan aturan sekolah.
Menurut Bourdieu, penyampaian
nilai-nilai paling efektif justru secara tersirat, yaitu melalui teladan dan
suasana kondusif. Maka, perlu memperhatikan bagaimana peserta didik
diperlakukan terutama oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan langsung dengan
peserta didik. Apakah peserta didik merasa diperlakukan secara baik, dihormati,
bukan diabaikan atau merasa di-bully? Cara pendidik atau para pemangku
bertanggung jawab memperlakukan orang lain juga memengaruhi sikap peserta
didik. Maka, peserta didik perlu dibantu mengalami bahwa sekolah adalah tempat
untuk mengembangkan diri, bukan sebaliknya, dianggap meracuni atau menghambat
secara psikologis.
Untuk menciptakan suasana
kondusif, kompetensi pedagogis pendidik berperan mendorong untuk belajar dua
hal (R Fisher, 2005: 510). Pertama, mengeksplorasi masalah-masalah keprihatinan
pribadi seperti cinta, persahabatan, konflik, dan fairness; masalah hubungan
diri-sosial seperti identitas, mendorong perilaku adil, menerima perbedaan;
kedua, mengembangkan gagasan sendiri, mengeksplorasi dan menantang gagasan
pihak lain, bisa jelas dan runtut dalam berpikir serta membuat pertimbangan
dengan penalaran jernih. Dengan demikian, di sekolah, peserta didik bisa tenang
berpikir dan meningkatkan kesadaran moral. Model pendidikan ini membantu
peserta didik lebih terbuka dan terampil dalam komunikasi sehingga mampu
menghindari tindak kekerasan.
Ketiga, sekolah merumuskan
karakter yang diharapkan melalui perwakilan semua pemangku tanggung jawab.
Sekolah bisa menuntut peserta didik mencapai karakter khas, misalnya tajam
dalam kompetensi (competence), suara hati yang jernih (conscience), dan hasrat
belarasa (compassion).
Penguasaan pengetahuan
Kompetensi menuntut penguasaan
pengetahuan. Ini mungkin bila tumbuh minat membaca dan kemampuan mengerti apa
yang dibaca yang kelihatan dari keterampilan mengungkapkan diri secara lisan
dan tertulis. Keterampilan ini membantu mengemukakan gagasan secara teratur dan
logis sehingga tumbuh rasa percaya diri untuk belajar secara sistematis apa
yang dilakukan. Lalu mulai terbiasa membuat studi terbatas untuk membentuk
pendapat sendiri.
Suara hati tumbuh dengan
mengembangkan nalar moral: kemampuan untuk menalar hal yang baik/jahat,
benar/salah sehingga memungkinkan mengambil keputusan melalui penilaian moral
yang matang. Suara hati mendorong hasrat belarasa.
Hasrat belarasa membuka
kepedulian untuk bisa mengenali dan menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat, lalu berusaha menghasilkan jawaban-jawaban. Dengan demikian,
pendidikan tidak mengakibatkan peserta didik terasing dari cara hidup
orang-orang di lingkungannya yang berpendapatan lebih rendah.
Beberapa tuntutan di atas bisa
dipenuhi bila kurikulum didesain untuk menjawab kebutuhan itu dan sekolah
membuka kesempatan peserta didik untuk terlibat kerja relawan. Banyaknya jam
kerja relawan menjadi poin untuk diterima di jenjang pendidikan lebih tinggi.
Ada beragam bentuk kerja relawan: kerja untuk kepentingan umum (bangunan
publik, taman publik, lapangan, hutan); demi penerimaan pluralitas (aktivitas
lintas agama, rumah ibadat, membantu kegiatan agama lain); dan kepedulian
kepada yang lemah, seperti orang miskin, lansia, atau korban bencana alam.
Dengan terlibat, jiwa pelayanan akan tumbuh.
Kepedulian sosial itu bisa
berubah menjadi tanggung jawab politik. Caranya, peserta didik dilibatkan
secara aktif dalam membuat program Kartu Pelaporan Warganegara (KPW) sebagai
alat umpan balik terhadap pejabat publik (Sampford, 2006: 235).
KPW berisi laporan tentang akses
ke pelayanan publik, kualitasnya, masalah yang dihadapi konsumen,
responsif/tidaknya pelayan publik. Dari KPW akan tersingkap standar kualitas
pelayanan publik, biaya yang harus dibayar, termasuk ongkos yang disembunyikan
seperti suap. Model pendidikan nilai seperti ini membuat peserta didik peduli
kebutuhan sesama dan menjadi warganegara kompeten.
Keempat, pewujudan karakter
melalui keterampilan bidang khusus (seni, olahraga, organisasi) melalui
partisipasi kegiatan di luar sekolah. Model pendidikan melalui kegiatan nyata
ini adalah proses internalisasi nilai-nilai secara intensif yang sekaligus
menjadi forum perjumpaan dengan yang berbeda agama atau etnis. Dari proses pelaksanaan
kegiatan terungkap kedisiplinan, ketekunan, komitmen, kejujuran.
Kelima, analogi permainan melalui
pendidikan sastra. Sastra membuka kemungkinan peserta didik untuk berubah yang
tidak dimungkinkan oleh visi yang melulu moral. Sastra mendorong tumbuhnya
inisiatif dan kreativitas karena peserta didik dibebaskan dari ketakutan akan
norma sosial dan sanksi sosial.
Dalam kebebasan, nampak fenomena
dasariah, proses lahirnya kreativitas: pertama-tama dalam imajinasi terbentuk
”ada baru” dan bukan dalam kehendak. Imajinasi mendahului kehendak. Dalam
sastra, ada paradigma kehidupan yang memungkinkan mengasah budaya dialog.
Sastra dengan paradigmanya memberi kearifan untuk memahami realitas dan
membangun kehalusan budi karena sastra tak menggurui, tapi menawarkan norma dan
model kehidupan. Melalui kisah, pembaca bisa menyimpulkan.
Kisah mendorong untuk bertindak
karena dengan meniru suatu model dibangun jembatan antara pikiran dan praksis.
Proses pertemuan antara dunia yang disarankan teks dan dunia konkret pembaca
memungkinkan transformasi diri, yaitu ketika teks mengubah pembaca sehingga
bisa memahami diri secara lebih baik. Sastra merupakan cermin atau kendaraan
wawasan, visi dan kedalaman perenungan.
0 komentar:
Posting Komentar